Sepak BolaBerita

Mengupayakan Kemenangan-Kemenangan Kecil

Bambang Sutini
×

Mengupayakan Kemenangan-Kemenangan Kecil

Share this article
Mengupayakan Kemenangan-Kemenangan Kecil

Pada tanggal 12 Mei lalu, saya melintasi Plaza de Cibeles di Madrid saat bus kota yang saya tumpangi melewati patung air mancur di tempat ikonis tersebut. Saat itu, para pekerja sedang sibuk beres-beres setelah tempat itu disesaki oleh lebih dari 15 ribu penggemar Real Madrid yang merayakan gelar La Liga. Sementara itu, tahun sebelumnya pada tanggal 14 Mei 2023, saya berada di Madrid ketika suporter Barcelona berkumpul di La Rambla dekat Plaça de Catalunya untuk merayakan gelar La Liga. Meskipun lingkungan meriah, saya memilih untuk menjauh dan tidak turut serta dalam perayaan tersebut.

Bagi saya, prestasi Real Madrid dan Barcelona tidak terlalu istimewa mengingat kedua klub tersebut adalah klub terkaya di Spanyol dan bahkan menduduki peringkat pertama dan keempat di dunia dalam hal pendapatan klub sepakbola pada musim 2022/2023 versi Deloitte Money League. Dengan pendapatan mencapai 831,4 juta euro dan 800,1 juta euro secara berurutan, kedua klub tersebut memiliki segala fasilitas untuk meraih gelar juara. Sepanjang sejarah La Liga, Real Madrid dan Barcelona masing-masing telah menjadi juara sebanyak 36 dan 27 kali, secara total meraih 63 dari 93 kali kompetisi. Hanya tujuh klub lain di luar kedua raksasa tersebut yang berbagi gelar juara sejak ajang La Liga dimulai pada tahun 1929, dengan masa jeda selama Perang Sipil Spanyol antara 1936-1939.

Jika saya tinggal di Jerman, saya pasti akan memilih untuk merayakan kemenangan bersama suporter Bayer Leverkusen. Klub ini menggelar perayaan kemenangan Bundesliga pertama mereka menjelang ulang tahun ke-120 pada 1 Juli mendatang. Sebelumnya, Leverkusen sering diejek dengan sebutan Neverkusen atau Vizekusen (spesialis posisi kedua) karena selalu menduduki peringkat kedua. Sejak didirikan, klub ini hanya mampu menjadi runner-up di Bundesliga sebanyak lima kali. Meskipun pernah mencapai final Liga Champions Eropa musim 2001/2002 dan kalah oleh Real Madrid, Leverkusen belum bisa meraih gelar tersebut. Di musim ini, mereka juga gagal menaklukkan Atalanta di final Liga Eropa, sehingga tidak bisa mengulang kejayaan merebut Piala UEFA musim 1987/1988.

Leverkusen baru saja menegaskan dominasinya sebagai klub paling tangguh musim ini di Jerman setelah berhasil mengalahkan Kaiserslautern pada final DFB-Pokal yang berlangsung pada 25 Mei lalu. Sebagai pemuncak klasemen Bundesliga tanpa satu pun kekalahan, klub yang diasuh oleh Xabi Alonso ini kini diberi julukan baru: Neverlusen. Prestasi ini merupakan penanda bahwa Leverkusen mampu mengakhiri kejayaan Bayern München yang telah mendominasi Bundesliga sebanyak 33 kali, termasuk 11 tahun terakhir yang tanpa henti.

Baca Juga:   Terungkap, MU Blokir Kepindahan Antony ke Spanyol

Di sepanjang musim, empat klub yang meraih gelar juara di liga-liga utama Eropa antara lain Manchester City, Real Madrid, Inter Milan, dan Bayer Leverkusen. Dari keempat tim tersebut, hanya Leverkusen yang merasakan sensasi menjadi juara liga dalam negeri. Kepedulian ini berhasil memutus dominasi Bayern München yang telah menguasai Bundesliga selama 33 kali, termasuk 11 tahun terakhir yang tanpa henti.

Setiap kali ada tim atau negara yang sebelumnya tidak pernah menjadi juara, tiba-tiba muncul di peringkat teratas dan meraih trofi, itu menjadi momen yang menggembirakan. Hal ini menunjukkan bahwa tim atau negara tersebut berhasil mengatasi kekuatan-kekuatan besar yang telah lama mendominasi. Contoh sukses seperti Yunani yang memenangkan Piala Eropa dan FC Porto yang meraih gelar Liga Champions Eropa pada tahun 2004 memberikan inspirasi, mengingat kedua tim tersebut sama sekali tidak diunggulkan dalam kompetisi-kompetisi tersebut.

Masyarakat Sipil Indonesia

Kesuksesan yang diraih oleh Leverkusen musim ini, serta pencapaian FC Porto dan timnas Yunani dua dasawarsa lalu, mengingatkan saya pada gerakan masyarakat sipil di Indonesia saat ini. Seiring berjalannya waktu dan pergantian presiden, terutama setelah masa Orde Baru, gerakan masyarakat sipil di Indonesia terus mendesak isu-isu korupsi, perusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, penyelewengan hukum, serta masalah-masalah lainnya.

Para aktivis, akademisi, dan masyarakat sipil menjalani perjuangan berat yang membutuhkan keberanian, kecerdasan, serta kesabaran. Meskipun jerih payah mereka tidak selalu berbuah hasil, namun ada beberapa kasus di mana usaha mereka membuahkan hasil positif yang signifikan.

Tanpa mengurangi arti penting dari kemenangan gerakan masyarakat sipil di berbagai bidang, beberapa contoh keberhasilan kerja keras patut diperhatikan. Pertama, pada bulan April 2022, para aktivis berhasil mendorong pemerintah dan DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kedua, baru-baru ini, aktivis lingkungan Daniel Tangkilisan dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Semarang setelah sebelumnya dijatuhi hukuman penjara tujuh bulan berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketiga, pada bulan Maret lalu, Mahkamah Konstitusi mencabut tiga pasal penyebaran kabar bohong dan pencemaran nama dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1946 yang diajukan oleh Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Aliansi Jurnalis Independen.

Baca Juga:   Duh, Kylian Mbappe Alami Cedera, Bakal Absen di Derby Madrid?

Menurut Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, pembatalan pasal penyebaran berita bohong oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kemenangan kecil namun memiliki dampak besar bagi masyarakat sipil.

aktivis la liga

Belajar dari sejarah

Kita bisa menemukan inspirasi dari kemenangan kecil yang memiliki arti besar dengan mempelajari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Contohnya adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berlangsung selama enam jam dan sangat signifikan dalam membuktikan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional saat itu. Serangan ini diinisiasi oleh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan tujuan mematahkan propaganda Belanda setelah Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 yang menyebabkan Belanda mengklaim Indonesia telah hancur.

Hasil dari Serangan Umum tersebut menjadi dorongan bagi elit sipil untuk berperang secara diplomatik, yang akhirnya memaksa Belanda untuk mau berunding. Melalui upaya diplomasi ini, banyak negara di dunia mulai mengakui kedaulatan Indonesia. Puncaknya terjadi pada Konferensi Meja Bundar yang mengakibatkan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, berkat perlawanan dan perjuangan yang dilakukan.

Perjuangan yang dilakukan seringkali menghadapi hambatan yang besar dan kokoh yang dibangun oleh penguasa. Pengalaman pahit dalam berhadapan dengan penguasa telah menjadi bagian dari sejarah perjuangan yang terus dikenang. Penguasa selalu berupaya untuk melemahkan kekuatan masyarakat sipil yang terus berjuang, seperti yang terjadi pada masa lalu.

Kalau kita menengok pengalaman FC Porto dalam sepak bola, dapat dilihat bagaimana klub tersebut mengalami masa gemilang setelah meraih gelar juara Eropa. Pelatih seperti Jose Mourinho dan beberapa bintang mereka seperti Deco, Paulo Ferreira, Ricardo Carvalho, dan Nuno Valente menjadi incaran klub-klub kaya di Eropa setelah prestasi gemilang tersebut. Namun, sayangnya, setelah itu, FC Porto belum mampu memberikan penampilan yang sama di kancah Eropa setidaknya sampai saat ini.

Baca Juga:   Tak Mendapatkan Tempat di Bayern Munchen, Serge Gnabry Buka Opsi Balik ke Premier League?

Faktanya, dalam 30 tahun terakhir, dominasi gelar Liga Champions Eropa jatuh ke tangan klub-klub berkekuatan finansial tinggi. Real Madrid, Barcelona, Bayern München, AC Milan, Manchester United, Liverpool, dan Chelsea menjadi klub yang meraih gelar secara berulang. Sementara itu, klub-klub seperti Ajax Amsterdam, Borussia Dortmund, Inter Milan, Juventus, serta Manchester City juga mencatatkan nama mereka sebagai juara.

Meskipun tantangan dan rintangan mungkin berat, kita sebagai masyarakat sipil tidak boleh menyerah begitu saja. Meskipun terjatuh atau merasa tertatih, kita harus tetap berjuang dan terus melangkah menuju kemenangan-kemenangan kecil. Meski perubahan terasa lambat, perlawanan masyarakat sipil tetap diperlukan agar kesejahteraan dan keadilan dapat mewujud di Indonesia. Kehadiran masyarakat sipil, meskipun dengan segala keterbatasan, menjadi fondasi perlawanan yang tegak dan terus melawan demi perubahan yang lebih baik.

Perlawanan yang gigih oleh masyarakat sipil telah memberikan tekanan yang signifikan pada penguasa. Hal ini membuat penguasa harus lebih berpikir secara hati-hati dalam menjalankan kekuasaannya tanpa adanya kontrol yang benar. Baik perlawanan kecil yang bersifat sporadis maupun yang terkoordinasi, semuanya akan memiliki dampak jangka panjang yang penting. Inisiatif-inisiatif ini akan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang, mengingatkan mereka bahwa para pendahulu pernah melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial yang dijalankan oleh penguasa.

Harapan ke depan adalah agar pesta yang sebelumnya digelar di Plaza de Cibeles dan La Rambla dapat ditiadakan. Seiring dengan itu, di Indonesia, harapan agar masyarakat kecil terus mampu meraih kemenangan-kemenangan kecil yang memiliki dampak yang besar tetap terjaga. Penting untuk tidak menutup mata terhadap segala bentuk ketimpangan dan penindasan yang terjadi, terutama dalam mendukung mereka yang berjuang melawan para penindas.

Semua perlawanan, entah itu besar atau kecil, menunjukkan pentingnya keberanian dalam menghadapi ketidakadilan. Masyarakat seharusnya terus mempertahankan semangat perlawanan demi keadilan sosial. Dengan demikian, diharapkan bahwa penguasa akan semakin terdorong untuk bertindak adil dan merespons aspirasi masyarakat dengan bijaksana demi kebaikan bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!